INDOTIMPOST.COM |Opini – Baru kemarin saya merilis tulisan dengan judul “perang global terhadap agama dan moralitas”. Ragam argumentasi saya sampaikan bahwa memang sedang terjadi permusuhan dan peperangan terhadap agama dan nilai-nilai moral dalam kehidupan manusia. Bagi kami di Amerika dan dunia Barat, hal ini bukan baru dan aneh. Dunia Barat dalam sejarahnya dikenal anti Islam, bahkan anti agama secara umum. Anti agama ini yang terakumulasi dalam konsep kehidupan liberal-sekuler yang dipromosikan ke berbagai penjuru dunia.
Tiba-tiba saya dikejutkan oleh berbagai berita yang lagi viral dan ramai di perdebatan bahwa putrì yang berhijab harus melepaskan jilbabnya untuk menjadi bagian dari paskibra. Saya terkejut, kecewa dan sebenarnya marah dengan sikap dan kebijakan sebagian mereka yang di pemerintahan dalam hal ini. Bahwa seorang Muslimah yang harusnya “bangga dengan negara dan agamanya” dipaksa memisahkan memisahkan dua komitmen mulainya. Menjadi paskibra itu kebanggaan sebagai putri bangsa. Namun berhijab juga kebanggaan dalam komitmen keislaman. Dan keduanya dalam kata “Indonesia“ menyatu tak terpisahkan.
Keinginan sebagian, konon kabarnya BPIP, untuk mencopot jilbab anggota paskibra putri adalah prilaku yang menggambarkan ketidak senangan bahkan boleh jadi bagian dari phobia kepada agamanya sendiri (kalau dia Muslim). Bahkan memperlihatkan permusuhan dan peperangan yang dilakukan kepada komitmen keagamaan (khususnya Islam) bangsa Indonesia.
Lebih spesifik lagi adalah bahwa ini bisa dilihat sebagai bentuk pengkhianatan kepada bangsa, negara dan agama. Bangsa dan negara Indonesia yang berlandaskan kepada Pancasila itu secara mendasar berketuhanan. Berketuhanan itu diartikan dengan memiliki komitmen keagamaan. Komitmen keagamaan itu direalisasikan dalam bentuk menjalankan ajaran-ajaran agama. Dan salah satu ajaran agama itu bagi orang Islam adalah hijab.
Inilah yang saya maksud dengan “pengkhianatan”. Seorang warga negara Indonesia Muslimah dan tidak berjlbab itu pilihan. Tapi untuk pemerintah melarang pemakaian jilbab walau dalam sebuah kegiatan tertentu itu pelecehan agama. Melecehkan agama itu sama dengan melecehkan Pancasila dan negara sekaligus. Dan seorang warga negara apalagi pejabat di bangsa ini melecehkan Pancasila dan negara itulah sejatinya pengkhianatan. Tak peduli dengan teriakan slogan “saya pancasila, saya nasionalis”.
Saya mencoba menalari alasan perintah membuka jilbab bagi paskibra putrì yang memakainya. Akal sehat saya tidak menemukan alasan “ma’quul” (masuk akal) dari pelarangan berjilbab ketika menjadi anggota pasukan pengibar bendera. Mengganggukah pergerakan gerak jalannya? Kurang lincahkah nantinya dalam bergerak? Saya tidak menemukan itu. Karenanya saya melihat yang masalah bukan pada paskibra putrì yang berjilbab. Tapi yang masalah, mungkin sakit, adalah cara berpikir yang membuat aturan itu.
Saya kemudian selintas membaca di media jika pelarangan itu karena perlu “penyeragaman”. Alasan ini jelas tidak sehat dan (maaf) dungu. Kita adalah bangsa yang ragam dan mencintai keragaman. Bukan bangsa yang “seragam” dan harus “diseragamkan”. Bukankah kita sering mendengar pujian kepada “bhinneka tunggal ika”?
Karenanya sekali lagi, saya menilai perintah melepas jilbab itu adalah kedunguan, cara berpikir yang tidak sehat, bahkan bentuk kebencian dan pelecehan kepada agama (Islam). Lebih jauh hal ini bisa dicurigai sebagai bentuk pengkhianatan kepada Pancasila dan NKRI. Dan lebih dungu lagi jika hal itu datangnya dari mereka yang harusnya pengawal nilai-nilai Pancasila di negeri ini.
Aneh memang, tapi nyata. Semakin lengkap daftar keanehan-keanehan di negara Indonesia tercinta! Manhattan, 14 Agustus 2024
Penulis : Shamsi Ali Al-Kajangi, Putra Kajang di Kota New York.
Berita Terkait
Pesta Demokrasi Pilkada Tidak Lama Lagi, Mirwan.SH : Kedaulatan Berada di Tangan Rakyat
Parade Kaum Tertindas, Nyayian Dalam Bungkusan Perlawanan
Intoleransi adalah Turbulensi dalam Masyarakat Majemuk di Kota Parepare