Jakarta, Indotimpost.com | Pemerintah dan DPR sepakat melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan ke rapat paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang. Meski begitu, penolakan terus disuarakan oleh sejumlah pihak. Ekspresi penolakan ditunjukkan lewat berbagai cara hingga akhirnya uji materi akan dilakukan apabila regulasi tersebut tetap disahkan.
Hasil rapat kerja Komisi IX DPR dengan pemerintah terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan di Jakarta, Senin (19/6/2023), menyepakati naskah RUU Kesehatan akan ditindaklanjuti pada pembicaraan tingkat kedua dalam rapat paripurna DPR. Pada rapat tersebut, tujuh fraksi di Komisi IX DPR setuju pembahasan RUU Kesehatan, sementara dua fraksi menolak pembahasan tersebut. Dua fraksi yang menolak, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera.
”Semoga naskah RUU ini bisa segera dibawa ke rapat paripurna besok tanggal 20 Juni 2023 dan disahkan untuk menjadi undang-undang,” ujar Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Nihayatul Wafiroh di akhir rapat sebelum penandatanganan persetujuan pembahasan RUU oleh perwakilan pemerintah dan perwakilan fraksi yang setuju.
Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi Golongan Karya Emanuel Melkiades Laka Lena yang juga Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Kesehatan mengatakan, RUU Kesehatan sebelumnya telah disepakati sebagai inisiatif DPR. Proses pembahasan rancangan undang-undang itu pun dinilai telah dilakukan secara intensif, hati-hati, dan komprehensif.
Ia menuturkan, RUU Kesehatan dibahas dengan landasan urgensi penguatan sistem kesehatan yang rencananya akan diwujudkan melalui transformasi kesehatan. Upaya transformasi tersebut perlu didukung landasan hukum yang kuat dan harmoni agar regulasi di bidang kesehatan tidak tumpang tindih. ”Untuk itu, pembentukan dan pembahasan RUU Kesehatan dilakukan dengan metode omnibus,” kata Melkiades.
RUU Kesehatan yang diajukan saat ini terdiri dari 20 bab dengan 458 pasal. Substansi yang termuat, antara lain, mengenai penguatan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan kesehatan, penguatan pelayanan kesehatan primer, pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan, serta transparansi proses registrasi dan perizinan tenaga medis.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Aliyah Mustika Ilham, menyampaikan penolakan oleh fraksi Demokrat atas pembahasan RUU Kesehatan. Ia menyebutkan, pembahasan RUU Kesehatan terlalu terburu-buru. Apabila pembahasan RUU tersebut lebih panjang, isu yang termuat dinilai akan lebih komprehensif dan berkualitas.
Selain itu, usulan peningkatan anggaran kesehatan untuk alokasi belanja wajib (mandatory spending) di luar gaji dan penerima bantuan iuran (PBI) juga tidak disetujui. ”Pemerintah justru memilih mandatory spending dihapus,” katanya.
Baca Juga : Dewan Perwaklian Rakyat diminta Untuk Menunda Pengesahan RUU Kesehatan
Selain itu, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKS, Netty Prasetiyani, juga menyatakan penolakan RUU Kesehatan dari Fraksi PKS. Pembahasan RUU Kesehatan cukup cepat sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan polemik di masyarakat.
”Jangan sampai undang-undang yang baru diundangkan diuji ke MK (Mahkamah Konstitusi) atau menimbulkan polemik seperti Undang-Undang Cipta Kerja. Diperlukan waktu yang lebih panjang agar pembahasannya mendalam dan kaya akan masukan,” tuturnya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, alokasi belanja wajib yang selama ini diterapkan belum bisa mencapai target. Untuk itu, pemerintah mengusulkan agar alokasi wajib untuk anggaran kesehatan tersebut dihapus dan digantikan dengan metode lain berupa anggaran berbasis program.
Ia berharap, RUU Kesehatan dapat menjadi petunjuk arah bagi transformasi sistem kesehatan di Indonesia. Dengan disahkannya RUU Kesehatan, penguatan kualitas kesehatan bagi masyarakat bisa dilakukan secara optimal.
Penolakan
Secara terpisah, lima organisasi profesi kesehatan menyatakan menolak kelanjutan pembahasan RUU Kesehatan. Lima organisasi tersebut terdiri dari Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, serta Ikatan Apoteker Indonesia.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi menyampaikan, banyak substansi dari RUU Kesehatan yang justru berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara. Selain itu, substansi RUU tersebut juga tidak mencerminkan upaya penguatan sistem kesehatan nasional. Substansi yang dibahas lebih banyak untuk kepentingan kuratif, bukan pada promotif dan preventif.
”RUU Kesehatan masih berfokus pada masalah di hilir bukan di hulu. Selain itu, soal penghapusan mandatory spending itu juga menunjukkan pertentangan. Bagaimana ingin membangun transformasi jika tidak ada anggaran yang pasti,” katanya.
Adib menuturkan, upaya penolakan akan terus dilakukan, aksi damai serta aksi cuti pelayanan bisa dilakukan apabila pemerintah dan DPR tetap mengesahkan RUU Kesehatan. RUU Kesehatan dinilai dapat mengganggu sistem pelayanan kesehatan nasional yang akhirnya bisa berdampak pada masyarakat. Uji materi lewat peninjauan yudisial (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi juga akan dilakukan apabila RUU Kesehatan tersebut sampai disahkan.
Berita Terkait
Kompetisi 6 Cabor, Wabup Lutim Buka POPDA Tingkat Pelajar
Kehilangan Helm di Parkiran RSUD Labuan Baji, Azis Rifai : Saya Kira Parkiran Resmi!
Berantas Peredaran Narkoba, Polres Gresik gelar Operasi Tumpas Narkoba Semeru 2024