INDOTIMPOST.COM | Opini – Seperti ungkapan saat mengenang sosok Raden Ajeng Kartini tokoh wanita Indonesia yang terkenal dengan slogan “Habis Gelap Terbitlah Terang” Pada tahun ini 2024 terkesan jadi terlewatkan akibat kegaduhan sengketa Pemilu Presiden di MK, sehari setelah itu 22 April 2024 memutus penolakan semua gugatan yang diajukan sehingga rakyat banyak yang mengharap adanya keadilan jadi pupus, seperti “habis gelap semakin kelam” tak kunjung terang.
Pelajaran hukum yang menghentak kesadaran warga masyarakat bahwa tak selamanya keadilan itu bisa diharap dari pengadilan, sungguh seperti drama demi klasik yang berjudul “pungguk merindukan rembulan”.
Yang menarik tentu saja tak cuma penulis naskah dan sutradaranya berikut pemain yang piawai mendramatisir cerita yang berakhir dengan anti klimak. Namun penonton pun merasa terusik untuk membuat drama sendiri dalam versinya yang tak kalah seru dan dramatik, sehingga panggung pertunjukan pun tak lagi sebatas di arena pertunjukan semata, karena bisa meluas ke pelataran auditorium yang terlanjur dianggap sakral itu.
Jadi pertunjukan bisa semakin meluas dan menjadi semacam penyakit yang dapat membangkitkan rasa demam dan sekujur tubuh meradang, seakan tanpa pernah dapat disembuhkan.
Pandemi yang telah menyergap warga masyarakat ini sungguh sulit disebut jenis dan katagorinya, boleh dianggap berbahaya, boleh juga tidak, tergantung dari sisi dan bagaimana melihatnya seperti hasil putusan hakim Mahkamah Konstitusi dengan adanya dissenting opinion. Atau bahkan dengan maraknya Amicus Curiae hingga karangan bunga serta do’a yang dilakukan pada tokoh agama bersama umatnya selama persidangan Mahkamah Konstitusi berlangsung.
Agaknya, dalam pertunjukan yang bersifat kolosal dan sangat dramatik ini, kelak akan selalu dikenang sebagai peristiwa yang langka dan mungkin tidak akan terjadi untuk yang kedua kalinya sepanjang sejarah umat manusia di bumi.
Karena drama berikutnya mungkin sudah diambil alih oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, termasuk seluruh pemain dan pemeran pendukungnya berikut crew yang berperan dalam drama besar yang dipentaskan di negeri.
Antara peristiwa peringatan Hari Kartini yang dikenal lewat bukunya yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang diterjemahkan Amin Pane itu memang dia anggap sebagai roman kehidupan, persis seperti yang terjadi sehari kemudian, pada 22 April 2024 di Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan sengketa hasil Pilpres 2024 yang dilakukan Anis-Muhaimin dan pasangan Ganjar-Machfud.
Tiga hakim Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari delapan orang itu — tanpa Anwar Usman — menyatakan pendapatnya yang berbeda. Mereka adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat.
Artinya, dengan ditolaknya gugatan sengketa Pilpres yang dilakukan kepada MK ini, maka keputusan Komisi Pemilihan Umum RI yang menetapkan pasangan Prabowo-Gibran Rakabuming sebagai Presiden dan Wakil Presiden pemenang Pemilu 2024 itu tidak berubah.
Yang berubah memang suasana maraknya peringatan hari Kartini yang biasa diperingati pada 21 April yang berpatok pada hari kelahiran Kartini pada tahun 1879 di Jepara itu tidak lagi semarak diperingati seperti peringatan hari Kartini pada tahun-tahun sebelumnya.
Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat, lewat bukunya yang asli dalam bahasa Belanda adalah “Melalui Kegelapan Menuju Cahaya” atau “Dari Gelap Menuju Terang” sungguh menarik jadi tajuk perbincangan bagi kaum wanita Indonesia hari ini yang banyak menyoal ikhwal tokoh wanita Indonesia lainnya, seperti Tjut Nya’ Dhien, Dewi Sartika, Kemalahayati tokoh wanita lainnya yang tak lebih banyak tidak diketahui oleh warga masyarakat, terutama aktivis wanita Indonesia hari.
Setidaknya, topik heroik kaum wanita terlibas oleh suasana gaduh sengketa Pilpres Indonesia tahun 2024 yang dianggap banyak pihak sangat mengecewakan, karena MK tidak juga memberikan keadilan seperti yang didambakan oleh rakyat kebanyakan. Sehingga mereka mau dan rela melakukan aksi berhari-hari selama proses peradilan dilakukan, rakyat banyak melakukan juga Istigosah Qubro untuk menguatkan mental dan moral dari spiritualitas hakim MK agar istiqomah, berpegang kepada janji dan sumpah kepada Allah SWT. Sehingga rakyat yang mendambakan keadilan tak mendapatkan cahaya terang dari MK.
Monas, 22 April 2024.
Penulis : Jacob Ereste
Berita Terkait
Parade Kaum Tertindas, Nyayian Dalam Bungkusan Perlawanan
Intoleransi adalah Turbulensi dalam Masyarakat Majemuk di Kota Parepare
Perintah Lepas Jilbab Paskibra itu Dungu!