INDOTIMPOST.COM | Makassar – Dalam ragam kuliner Nusantara yang begitu kaya akan rasa dan tradisi, kue Katrisala menjadi salah satu sajian khas yang mencerminkan budaya masyarakat Bugis. Dibuat dari bahan utama beras ketan, gula merah, dan santan, kue ini tidak hanya menggugah selera, tetapi juga sarat dengan makna filosofis yang mencerminkan nilai-nilai kehidupan masyarakat Bugis.
Sejak tahun 1995, Ibu H. Wati mulai mengolah kue Katrisala di dapurnya yang sederhana. Ia memilih untuk menekuni pembuatan kue tradisional ini karena terinspirasi oleh kenangan masa kecilnya, saat ia kerap membantu ibunya di dapur saat ada hajatan keluarga. “Dulu saya sering melihat ibu saya membuat Katrisala dengan penuh cinta. Dari situ, saya merasa terpanggil untuk menjaga tradisi ini agar tidak hilang,” ungkap Ibu H. Wati saat diwawancarai di kediamannya. Baginya, membuat Katrisala bukan sekadar aktivitas memasak, tetapi juga sebuah upaya melestarikan warisan leluhur dan memperkenalkannya kepada generasi muda.
Menurut Ibu H. Wati, kue Katrisala memiliki filosofi mendalam yang mencerminkan nilai-nilai kebersamaan dan rasa syukur dalam kehidupan masyarakat Bugis. “Bahan-bahannya memang sederhana, tapi punya makna. Beras ketan itu melambangkan persatuan, gula merah menggambarkan kehangatan dan kejujuran, sementara santan mencerminkan kasih sayang,” jelas Ibu H. Wati saat diwawancarai di rumah produksi kue Katrisala. Makna ini juga tergambar dalam proses pembuatannya, yang memerlukan kesabaran dan ketelitian agar hasilnya sempurna.
Proses membuat Katrisala dimulai dengan memasak gula merah hingga menjadi karamel yang kental. Beras ketan yang sudah dikukus kemudian disusun berlapis-lapis dengan gula merah sebagai perekatnya. Saat ditemui di kediaman sekaligus rumah produksi kue tradisionalnya, Ibu H. Wati juga mengungkapkan, “Setiap lapisan harus rapi. Ini melambangkan keseimbangan dalam hidup.” Kue ini biasanya disajikan pada acara-acara penting seperti pernikahan, syukuran, atau perayaan lainnya, sebagai simbol kebahagiaan dan doa keberkahan.
Menurut Bapak Hasan, seorang ahli kuliner tradisional, Katrisala adalah salah satu bentuk kearifan lokal yang harus dilestarikan. “Kue ini tidak hanya lezat, tetapi juga menjadi media untuk menceritakan filosofi kehidupan masyarakat Bugis. Setiap bahan dan prosesnya punya cerita. Misalnya, penggunaan beras ketan sebagai lambang persatuan. Di sinilah kekayaan kuliner tradisional Indonesia, yaitu selalu ada nilai budaya yang disampaikan,” tambahnya. Ia menambahkan bahwa inovasi diperlukan untuk menjaga keberadaan kue ini, seperti menyesuaikan bentuk penyajian agar menarik bagi generasi muda.
Namun, di tengah perkembangan zaman dan gempuran makanan modern, eksistensi Katrisala mulai terpinggirkan. Salah satu pemilik restoran tradisional di Makassar mengungkapkan bahwa kue ini kini kurang dikenal oleh generasi muda. “Kami berusaha memasukkan Katrisala ke dalam menu restoran dan bahkan mengadakan pelatihan membuat kue tradisional untuk anak muda,” kata Ibu H. Wati. Langkah ini dilakukan agar warisan kuliner Bugis tetap terjaga dan relevan di masa kini.
Seorang penggemar Katrisala, Andi Nabila, mengungkapkan kenangannya tentang kue ini. “Saya selalu menantikan acara keluarga karena pasti ada Katrisala. Rasanya manis, teksturnya lembut, dan selalu mengingatkan saya pada kebersamaan,” ujar Andi Fatimah. Ia berharap Katrisala bisa lebih sering ditemukan di toko kue modern agar tidak hanya generasi tua yang mengenalnya. “Saya yakin kalau anak muda tahu maknanya, mereka akan lebih menghargai kue ini,” tambahnya.
Bagi mereka yang tumbuh dalam budaya Bugis, Katrisala bukan sekadar kue, tetapi juga menyimpan kenangan dan nilai-nilai. Tekstur ketannya yang kenyal berpadu dengan manisnya gula merah menghasilkan rasa yang khas dan sulit dilupakan. “Ini bukan hanya soal rasa, tapi ada nilai syukur dan cinta di setiap lapisannya,” tambah Ibu H. Wati saat diwawancarai.
Kue Katrisala menjadi bukti nyata bagaimana tradisi bisa tetap hidup melalui makanan. Filosofi mendalam di balik setiap lapisannya mengingatkan kita akan pentingnya kebersamaan, kejujuran, dan kasih sayang. Dengan terus melestarikan dan memperkenalkan kue ini kepada generasi muda, Katrisala akan tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari warisan budaya Bugis.
Berita Terkait
Program Makan Siang Gratis, Badko HMI Sulsel: Perlu Komitmen Pemerintah Daerah Untuk Menciptakan Akselerasi Ekonomi dan Pemberdayaan UMKM di Sulsel
Cegah Kecelakaan Lalu Lintas, Polres Manggarai Timur Bersihkan Tumpukan Pasir Dan Krikil DI Jalan Raya
Antusias Warga Desa Dengke Mendirikan Kantor Desa Darurat dari Bambu