INDOTIMPOST.COM | TAKALAR – Kabid Dikdas Dinas pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Takalar Rakmadi,S.Pd, M.Pd memenuhi panggilan Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Polres Takalar terkait laporan polisi (LP) yang dilaporkan beberapa waktu lalu yang menurutnya, adanya tudingan tuduhan yang membuatnya tidak nyaman dengan tayangnya pemberitaan dibeberapa media online di kabupaten Takalar bahwa atas jabatannya di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan melakukan pungutan liar (pungli)
Kabid Dikdas Rakmadi di dampingi kuasa hukumnya Mushawwir, S.H dan Muh.Arsyad, S.H, memenuhi panggilan penyidik Tipidter Polres Takalar, Senin 18/11 siang
Tuduhan Pungli terhadap para kepala sekolah untuk membantu pembuatan alat peraga kampanye dan kegiatan sosialisasi pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati tertentu menjadi viral di media sosial serta sedang hangat diperbincangkan oleh sejumlah kalangan baik di group-group whatsApp maupun para penikmat kopi di warkop-warkop yang ada di Takalar pada Selasa, 12 November 2024 baru baru ini
Rakmadi,S.Pd.,M.Pd yang akrab disapa Dg.Kulle selaku Kabid Dikdas Takalar didampingi kuasa hukumnya Mushawwir, S.H sebelumnya mendatangi kantor Polres Takalar guna melaporkan sejumlah pihak ke Unit Tindak Pidana Tertentu Satuan Reskrim Polres Takalar.
“Hari ini saya sebagai pribadi maupun atas nama jabatan melaporkan sejumlah pihak yang dengan sengaja memproduksi dan mengedarkan informasi yang tidak benar, mulai dari pemilik link pemberitaan, oknum pewarta, dan sumber informasi yang telah menuding saya melakukan pungli kepada setiap kepala sekolah untuk kepentingan Paslon Bupati & Wakil Bupati tertentu”. Sebut Rakmadi kepada para wartawan,
Dalam Dewan Pers, di atur bahwa,” Keberimbangan pemberitaan bukan semata-mata soal kaidah konfirmasi. Bukan pula soal pencermatan ulang (check and recheck) agar pemberitaan proporsional. Lebih dari itu, keberimbangan pemberitaan menunjukkan harkat dan martabat media siber yang bersangkutan. Akhirnya, memantulkan bobot mutu Sang Jurnalis yang mewartakannya.
Layak disimak idahnya amanat KEJ ihwal keberimbangan pemberitaan. Tertera jelas dan lugas di Pasal 3 KEJ. Selengkapnya:
“Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tidak bersalah.”
Makna kata demi kata dalam Pasal 3 KEJ tersebut mudah dipahami. Bahkan melahirkan tafsir yang enak dibaca. Sebut saja tafsir ihwal “menguji informasi”. Maknanya, melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi.
Begitu pun tafsir perihal “berimbang”. Bermakna memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
Berikutnya, “opini yang menghakimi” adalah pendapat pribadi wartawan. Hal tersebut berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
Terakhir, “asas praduga tidak bersalah” adalah prinsip tidak menghakimi seseorang, kelompok atau pun institusi.
Hingga kini masih saja ada beberapa media siber yang tidak mengindahkan keberimbangan pemberitaan. Bahkan cenderung menghakimi.
PRDP yang diterbitkan Dewan Pers menyiratkan dominasi pelanggaran atas Pasal 3 KEJ. Ujung-ujungnya menukik ke hukum positif, yaitu UU RI No. 40/ Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Lazim menukik ke Pasal 5, (ayat 2), UU Pers. Pasal ini mengatur ihwal Hak Jawab yang wajib dipenuhi pihak pers.
Bila pihak pers abai atas Pasal 5, (ayat 2), UU Pers, maka berpotensi besar terjerembab pada Pasal 18, (ayat 2), UU Pers. Ancaman sanksi pidananya berupa denda. Maksimal Rp 500 juta. Dijatuhkan pada pihak media siber yang dinyatakan secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah.
Boleh jadi tidak cukup hanya hukum positif tersebut. Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga sangat mungkin dibidikkan. Maklum, media siber “lengket” dengan UU ITE. “Peluru” yang ditembakkan lazimnya seputar Pasal 27, 28, dan Pasal 45 yang mengatur sanksi pidananya: penjara!
Sangat mungkin semua itu terjadi karena pihak jurnalis atau redaksinya “gagal paham” dalam hal memaknai kedudukan hukum elemen who (siapa).
Kesalahannya, menganggap elemen who yang memiliki hak atas keseimbangan pemberitaan hanya manusia. Padahal tidak demikian. Elemen “who” personifikasi (bukan manusia dianggap seolah-olah manusia) juga punya hak atas keberimbangan pemberitaan dan nama baik.
“Who” personifikasi dimaksud adalah institusi atau lembaga. Contoh, Pemerintah Indonesia pun bisa menjadi elemen “who” personifikasi dalam kalimat: “Pemerintah Indonesia (“who” personifikasi) mendukung penuh gencatan senjata (what), di Jalur Gaza (where)”.
Jelaslah institusi atau lembaga sebagai “who” personifikasi punya hak atas keberimbangan
pemberitaan yang menyangkut-pautkan nama institusinya secara jelas. Bukan berupa akronim (singkatan).
Konfirmasi wajib dilakukan kepada pimpinan atau pihak yang berwenang dalam institusi dimaksud. Pihak berwenang itulah yang memberikan konfirmasi untuk dan atas nama “who” personifikasi.
“Gagal paham” atas KEJ dan sejumlah produk hukum positif yang terkait dengan eksistensi pers, masih memprihatinkan hingga kini. Solusinya, harus ada langkah konkret meningkatkan mutu SDM jurnalis media siber. Hanya itu solusi yang rasional dan faktual.(*/Fr)
Berita Terkait
Inilah Jalan di Kabupaten Sinjai yang Terus jadi Keluhan Warga, Pemerintah Dimana?
Walikota Andrei Angouw dan 14 Wartawan Diduga Dibackup Polisi, Arthur Mumu Desak Kapolda Copot Penyidiknya
Pleno Tanwir Muhammadiyah di Kupang, Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Sampaikan Laporan Pertanggungjawaban